Jenis alat musik

Jenis Tarian Adat Biak

 Munara Kafko Ibui, Kinsasor (Menembak dengan anak panah dan busur);
 Munara Sababu (upacara membawa turun);
 Munara Famamar (upacara mengenakan cawat (marj), dan sraikir kneram
(melubangi telinga);
 Munara Panani Sampar (mengenakan manset yang dibuat dari kulit
kerang);
 Munara Kapapknik (upacara cukur rambut);
 Munara Sraikir Snonikor (upacara melubangi sekat hidung);
 Munara Pananai Mansorandak (mencuci muka, dengan didahului dengan
busur yang dibentang);
 Munara Kabor-Insos (wor kapakpok);
 Karindanauw (upacara pertunangan);
 Munara Yakyaker Farbakbuk ( upacara perkawinan);
 Worak atau Wor Mamun (upacara perang);
 Kafkofer Afer atau Afer (melemparkan kapur = mengikat perdamaian);
 Wor saso atau Myow Rum Babo (tarian pencobaan untuk rumah baru);
 Kankanes Ayob atau Munabai (ratapan untuk mati);
 Farbabei (menyematkan atau menggantungkan tanda mata);
 Panamnomes Romawi (penghancuran warisan);
 S’panggung Bemarya (orang membungkus mayat);
 S’erak I (pemakaman di tepi karang);
 Wor Ras Rus (menggali tulang orang mati untuk dikuburkan kembali);
 Worwarek Marandan (melindungi sanak saudara yang sedang dalam
perjalanan dengan nyanyian).;
 Wor FAN NANGGI (upacara memberi makan kepada langit);
 Wor Fayakyik Robena (menunjukkan seorang anak muda kepada barang
barang milik);
 Wor Manibob (pada kesempatan menerima seorang teman dagang);
 Wor fafyafer Membesorandak (upacara cara untuk seorang pemuda yang
untuk pertama kali tiba di suatu tempat);
 Worm Mon (upaca yang dipakai untuk dukun atau saman);
 Wor Koreri;
 Kinsasor (meramal divination);
 Wor Sabsibert

Upacara Tradisional Biak

Upacara tradisional Biak atau pesta adat Biak disebut Wor atau Munara,
yang dilaksanakan untuk melindungi seorang individu yang beralih peran dari
satu peran sosial sebelumnya ke peran sosial berikutnya.
Orang-orang tua Biak mengatakan “Nggo Wor Baindo Na Nggo Mar”
(tanpa upacara/pesta adat kami akan mati). Dengan demikian, maka dalam
segala aspek kehidupan sosial suku Biak selalu diwarnai dengan upacara adat

Seni Tari Daerah Biak

Seni Tari Daerah.
Di Kabupaten Biak Numfor, terdapat aneka tari daerah yang menarik
dan memikat. Tari-tarian tersebut berupa Tari Kankarem (Tari Pembukaan),
Tari Mamun (Tari Perang), Tari Akyaker (Tari Perkawinan) dan lain-lain
yang diiringi dengan lagu-lagu wor Biak.
Disamping tari tradisional diatas, terdapat pula dua jenis tarian Biak
versi baru yakni Tari Pancar dan Tari Mapia. Tari Pancar yang saat ini
popular dengan nama Yospan (Yosimpancar) diciptakan sekitar awal tahun
1960-an oleh seniman Biak. Tarian ini tidak dikenal disaat terjadinya
konfrotasi antara Belanda dan Indonesia soal Irian Barat ( Papua).
Tarian ini diiringi oleh lagu-lagu pancar diantonis yang menggunakan
alat musik Gitar, Stringbass, dan Ukulele. Tari Mapia merupakan tari kneasi
baru yang berasal dari pulau-pulau Mapia. Tarian ini diciptakan sekitar tahun
1920-an dan diperkenalkan ke Biak oleh orang-orang Kinmon, Saruf, dan
Bariasba.

Kesenian

Kesenian
a. Seni Musik Daerah.

Musik tradisional Biak Numfor disebut Wor yaitu puisi Biak yang
dinyanyikan dengan tangga nada pentatonik 1 (do), 2 (re), 3 (mi), 5 (sol)
dan 6 (la). Wor Biak tidak mengenal 4 (fa) dan 7 (si). Struktur puisi Wor
terdiri dari 2 bait yang disebut Kadwor (puncak) dan Fuar (pangkal).
Tercatat sekitar 18 jenis lagu Wor Biak antara lain Kankarem,
Moringkin, Kansyaru, Wonggei, Disner, Nambojaren, Erisam, Dow
Arbur, Dow Mamun, Armis, Aurak, Dow Beyor Warn, Dow Bemun
Warn, Kawop, Urere, Randan dan Beyuser.
Nyanian Wor biasanya diiringi alat music” Sireb” atau Sandip yakni
alat musik Tifa.
b. Seni Ukir Daerah.

Seni ukir daerah yang dengan gaya Karwamya, selama ini hanya
menjadi penghuni museum luar negeri. Dengan munculnya seni ukir
Asmat yang terkenal di dunia internasional, mendorong pengukir muda
berbakat asal Biak kembali mengabdikan karya seni nenek moyang dalam
seluruh aspek kehidupan masyarakat adat Biak Numfor.

c. Seni Kerajinan rakyat.

Beberapa seni kerajinan rakyat Biak yang menonjol antara lain :
 Kerajinan kerang hias;
 Kerajinan anyam-anyaman;
 Pengrajinan lainnya.

 

 

 

 

YOSPAN – Yosim Pancar

Yosim Pancar atau biasa disingkat Yospan adalah tari pergaulan/persahabatan para muda-mudi. Yospan merupakan penggabungan dari dua tarian rakyat di Papua, yaitu Yosim dan Pancar.

 

Yosim adalah suatu tarian tua mirip poloneis dari dansa Barat dan berasal dari Sarmi, suatu kabupaten di pesisir utara Papua, dekat Sungai Mamberamo, namun ada juga yang mengatakan bahwa Yosim berasal dari wilayah teluk Saireri (Serui, Waropen). Sedangkan Pancar adalah suatu tarian yang berkembang di Biak Numfor dan Manokwari awal 1960-an semasa zaman Belanda di Papua, meniru pada awal sejarah kelahirannya, gerakan-gerakan “akrobatik” di udara – seperti gerakan jatuh jungkir-balik dari langit, mirip daun kering yang jatuh tertiup angin – dari pesawat tempur jet Neptune buatan Amerika Serikat yang dipakai Angkatan Udara Belanda di Irian Barat. Awal 1960-an, konflik Belanda-Indonesia seputar status kedaulatan atas Irian Barat masih berlangsung. Karena pesawat tempur ini digerakkan oleh pancaran gas (jet), maka tarian yang meniru gerakan akrobatiknya mula-mula disebut Pancar Gas, kemudian disingkat menjadi Pancar. Sejak kelahirannya awal 1960-an, Pancar sudah memperkaya gerakannya dari sumber-sumber lain, termasuk dari alam.

 

Tari Yosim Pancar memiliki dua regu pemain yaitu Regu Musisi dan Penari. Penari Yospan lebih dari satu orang dengan gerakan dasar yang penuh semangat, dinamik dan menarik. Beberapa jenis gerakannya yang terkenal seperti Pancar gas, Gale-gale, Jef, Pacul Tiga, Seka dan lain-lain.

 

Keunikan dari tarian ini adalah pakaian, aksesoris, dan alat musiknya. Warna dan jenis pakaian yang digunakan masing-masing Grup Seni tari/sanggar seni Yospan berbeda-beda, namun ciri khas Papua untuk aksesoris hampir sama. Alat-alat musik yang dipakai untuk mengiringi tarian Yospan seperti Gitar, Ukulele (Juk), Tifa dan Bass Akustik (stem bass). Ukulele, Tifa dan Stem Bass biasanya dibuat sendiri. Seorang yang sudah mahir bermain Stem Bass terkadang dapat bermain bukan lagi menggunakan jari atau telapak tangan untuk menekan not tapi menggunakan telapak kaki pada senar nilon. Irama dan lagu Tari Yospan secara khusus sangat membangkitkan kekuatan untuk tarian.

 

Yospan cukup populer dan sering diperagakan pada setiap event, acara adat, kegiatan penyambutan dan festival seni budaya. Yospan juga biasa ditampilkan di Manca Negara untuk memenuhi undangan atau mengikuti Festival disana.

Pantai

Sebagai daerah kepulauan, Biak Numfor memiliki lokasi wisata pantai dan bahari yang indah untuk dapat dinikmati. Disamping itu juga terdapat beberapa lokasi bersejarah sisa perang dunia II, yang menjadi daya tarik dan  layak untuk dikunjungi, selain acara-acara tradisional yang sering diadakan di kabupaten ini.

Sebagai wilayah kepulauan, Biak Numfor memiliki kekayaan akan pantai yang indah, dengan kawasan yang masih asli dan budaya masyarakat bahari, menambah keunikan wisata alam ini. Lokasi pantai yang menarik, banyak terdapat di sepanjang wilayah Biak Timur dan Biak Utara. Di Biak Timur terdapat Pantai Segara Indah, Marauw, Tanjung Barari dan lainnya,  di sepanjang pesisir terdapat pantai yang indah dan landai sehingga pengunjung dapat bermain ataupun berenang di pantai tersebut. Di Biak Utara juga terdapat pantai yang indah dan bagus seperti pantai Korem, Wari dan beberapa pantai lain di sepanjang pesisir wilayah ini. Pantai di daerah ini berhadapan langsung dengan Samudara Pasifik sehingga ombaknya pun cukup besar, sangat cocok untuk melakukan kegiatan selancar.

Tarian Tradisional Suku Biak

Tarian Yospan merupakan tarian rakyat yang biasa dilakukan dalam kegiatan-kegiatan acara adat maupun peringatan hari-hari besar. Dan berkelompok dan memiliki irama dan ritme dilakukan secara riang,  sangat unik dan menarik.

Suku Biak merupakan salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di kabupaten Biak Numfor. Turun temurun, setiap kegiatan yang terkait dengan alur kehidupan mereka berjalan berdasarkan aturan adat. Aturan adat itu berasal dari para leluhur suku Biak yang diyakini sebagai tetua adat. Salah satu aturan adat yang harus dijalani yakni prosesi adat sebelum warga Biak melangsungkan pernikahan. Bagaimana prosesi ritual adat itu?

Sebelum melangsungkan pernikahan, pihak keluarga dari lelaki Biak yang ingin menikah itu diwajibkan untuk melamar wanita calon pendamping. Di Biak, terdapat dua cara untuk melamar calon pengantin wanita. Pertama, pinangan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki sewaktu anak lelaki mereka ataupun anak gadis yang akan dilamar masih berusia anak-anak. Dalam bahasa Biak, tradisi ini disebut Sanepen. Cara yang kedua yakni Fakfuken, orang tua lelaki melamar gadis yang akan menjadi pengantin setelah kedua anak mereka berumur minimal 15 tahun. Pada saat melamar itu, pihak lelaki membawa Kaken atau tanda perkenalan seperti gelang ataupun kalung dari manik-manik. Tidak ada ketentuan adat, berapa banyak kaken yang harus diserahkan, jumlah dan jenisnya berdasarkan pada kemampuan materi dari pihak keluarga lelaki. Jika orang tua dari pihak perempuan menerima lamaran itu, mereka juga memberikan kaken kepada pihak lelaki. Sama halnya dengan tanda perkenalan yang diberikan oleh pihak lelaki, pihak perempuan memberikan kaken sesuai dengan kemampuannya.

Jika kedua belah pihak telah setuju untuk menyelenggarakan pernikahan, mereka menentukan mas kawin yang nantinya diberikan pihak lelaki kepada pihak wanita. Dulu, mas kawin itu umumnya berupa Kamfar yakni gelang dari kulit kerang. Jika lelaki yang akan menikah itu berasal dari keluarga terpandang, ia memberikan sebuah perahu layar sebagai mas kawin. Namun seiring dengan perkembangan jaman, suku Biak mengganti jenis mas kawin itu dengan gelang yang terbuat dari perak. Setelah penentuan mas kawin, kedua orang tua dari kedua belah pihak pergi menuju rumah tetua adat suku Biak. Bagi suku Biak, tetua adat memiliki peran yang sangat penting. Begitu pentingnya peran tetua adat itu, pihak keluarga akan menyelenggarakan pernikahan pada hari yang oleh tetua adat dianggap sebagai hari baik. Sementara itu, segala macam kebutuhan pernikahan mulai dipersiapkan satu minggu menjelang hari pernikahan dilaksanakan.

Pernikahan adat suku Biak mulai dilaksanakan satu hari sebelum hari pernikahan tiba. Kedua calon mempelai yang akan menikah mengawali tradisi ini dengan acara makan bersama dengan semua saudara lelaki dari pihak ibu kedua mempelai. Keesokan harinya, keluarga wanita mulai menghias sang gadis sesuai adat. Setelah dianggap tampil sempurna, barulah calon pengantin wanita dibawa menuju rumah pengantin lelaki. Di rumah pihak lelaki itulah, puncak acara dalam pernikahan adat suku Biak dilaksanakan. Ketika menikah, lelaki ataupun wanita Biak mengenakan pakaian adat Papua yang bentuknya hampir sama. Mereka juga memakai gelang, kalung, serta ikat pinggang dari manik-manik.

Acara puncak pernikahan adat suku Biak diawali dengan penyerahan seperangkat senjata berupa tombak, panah, serta parang. Penyerahan itu diawali dari pihak keluarga wanita kepada pihak lelaki. Bagi suku Biak, penyerahan dari pihak wanita itu menjadi simbol bahwa keluarga wanita telah sepenuhnya menyerahkan anak gadis mereka kepada keluarga lelaki. Setelah diterima oleh wakil dari pihak lelaki, pihak keluarga lelaki menyerahkan pemberian yang bentuknya sama kepada pihak perempuan. Kali ini, pemberian ini menjadi simbol, keluarga lelaki telah menerima anak gadis itu dan menjaganya seperti anak mereka sendiri. Setelah itu, barulah kepala adat mulai mengawali inti acara pernikahan.

Inti acara pernikahan adat diawali dengan pemberian sebatang rokok yang tampak seperti cerutu. Rokok itu wajib dihisap oleh pengantin lelaki kemudian diisap oleh pengantin wanita. Tak lama kemudian, tetua adat memberikan dua buah ubi yang telah dibakar di atas bara api kepada kedua mempelai. Ketika itu, setiap pengantin memperoleh sebuah ubi. Doa dan mantera yang dibacakan oleh sang tetua adat mengiringi prosesi pemberian ubi itu kepada kedua mempelai. Dalam tradisi ini, doa merupakan permohonan restu kepada Tuhan agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan. Setelah doa selesai dibacakan, kedua mempelai melaksanakan tradisi saling menyuapi ubi. Seluruh rangkaian acara pernikahan adat suku Biak ini diakhiri dengan makan bersama dengan seluruh keluarga dari kedua pihak dan para tamu undangan. Dengan berakhirnya tradisi makan bersama itu, usai sudah seluruh rangkaian acara pernikahan adat suku Biak di kabupaten Biak Numfor, Papua. Ari-Ike/LPP

Acara Perkawinan Adat Suku Biak

Acara Perkawinan Adat
Suku Biak menyebutnya “MUNARA YAKYAKER PURBAKBUK”. YAKYAKER adalah suatu upacara pengiringan penganten wanita ke rumah penganten pria. Ini merupakan puncak di upacara perkawinan (Munara Purbakbuk). Sebelum berlangsung upacara perkawinan didahului dengan sejumlah tahapan upacara antara lain pembayaran mas kawin yang disebut Ararem. Sesuai tradisi Suku Biak, besarnya mas kawin (ararem) ditentukan oleh pihak keluarga wanita yang melalui kesepakatan besarnya antara sanak keluarga. Untuk penentuan waktu penyerahan Ararem tersebut, dapat disepakati bersama oleh kedua belah pihak yakni keluarga wanita dan pihak keluarga pria. Munara Yakyaker (Upacara Pengiringan) selama 7 hari dan 7 malam, kedua calon pengantin diawasi dalam rumah keluarga masing-masing dan setelah itu pengantin wanita diiring dengan suatu arak-arakan tari dan lagu yang disebut “WOR” ke rumah pengantin pria, dan disana dilangsungkan upacara Pengukuhan tanda sahnya perkawinan tersebut.

Bahasa

Bahasa yang digunakan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Biak adalah Bahasa Indonesia. Bahasa asli digunakan penduduk asli hanya dibedakan oleh dialek bahasa seperti Samber, Swapodibo, Wadibu, Sopen, Mandender, Wombonda, Urmbor, Sawias dan dialek Doreri.

Walaupun mereka mengngunakan satu bahasa yang sama juga, terdapat perbedaan dialek antara penduduk pada satu daerah dengan daerah yang lainnya. Namun, secara prinsip dialek-dialek yang berbeda itu tidak menghalangi mereka untuk saling mengerti satu sama yang lain. Di Kepulauan Biak-Numfor sendiri terdapat sepuluh dialek sedangkan di daerah-daerah migrasi atau perantauan terdapat tiga dialek (Dr. J.R. Mansoben, MA, 2003).

Secara linguistik, bahasa Biak adalah salah satu bahasa di Papua yang dikategorikan dalam keluarga bahasa Austronesia (Muller 1876-1888; Wurm & Hattori 1982) dan khususnya termasuk pada subgrup South-Halmahera-West New Guinea (Blust 1978). Oleh karena bahasa tersebut digunakan oleh para migran Biak di daerah-daerah perantauan, maka ia berfungsi di tempat-tempat itu sebagai bahasa pergaulan antara orang-orang asal Biak dengan penduduk asli. Jumlah penduduk yang menggunakan bahasa Biak di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri pada saat sekarang berjumlah lebih kurang ?70.000 orang. Membandingkan jumlah penduduk yang menggunakan bahasa Biak dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Papua, maka bahasa Biak termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa daerah di Papua yang jumlah penuturnya lebih dari 10.000 orang. Kecuali itu, jika dilihat dari segi luas wilayah pesebarannya maka bahasa Biak merupakan bahasa yang paling luas wilayah pesebarannya di seluruh Papua. (Dr. J.R. Mansoben, MA, 2003)

 

 

Suku Biak merupakan salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di kabupaten Biak Numfor. Turun temurun, setiap kegiatan yang terkait dengan alur kehidupan mereka berjalan berdasarkan aturan adat. Aturan adat itu berasal dari para leluhur suku Biak yang diyakini sebagai Ketua adat. Salah satu aturan adat yang harus dijalani yakni prosesi adat sebelum warga Biak melangsungkan pernikahan. Bagaimana prosesi ritual adat itu?
Sebelum melangsungkan pernikahan, pihak keluarga dari lelaki Biak yang ingin menikah itu diwajibkan untuk melamar wanita calon pendamping. Di Biak, terdapat dua cara untuk melamar calon pengantin wanita. Pertama, pinangan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki sewaktu anak lelaki mereka ataupun anak gadis yang akan dilamar masih berusia anak-anak. Dalam bahasa Biak, tradisi ini disebut Sanepen. Cara yang kedua yakni Fakfuken, orang tua lelaki melamar gadis yang akan menjadi pengantin setelah kedua anak mereka berumur minimal 15 tahun. Pada saat melamar itu, pihak lelaki membawa Kaken atau tanda perkenalan seperti gelang ataupun kalung dari manik-manik. Tidak ada ketentuan adat, berapa banyak kaken yang harus diserahkan, jumlah dan jenisnya berdasarkan pada kemampuan materi dari pihak keluarga lelaki. Jika orang tua dari pihak perempuan menerima lamaran itu, mereka juga memberikan kaken kepada pihak lelaki. Sama halnya dengan tanda perkenalan yang diberikan oleh pihak lelaki, pihak perempuan memberikan kaken sesuai dengan      kemampuannya.
Jika kedua belah pihak telah setuju untuk menyelenggarakan pernikahan, mereka menentukan mas kawin yang nantinya diberikan pihak lelaki kepada pihak wanita. Dulu, mas kawin itu umumnya berupa Kamfar yakni gelang dari kulit kerang. Jika lelaki yang akan menikah itu berasal dari keluarga terpandang, ia memberikan sebuah perahu layar sebagai mas kawin. Namun seiring dengan perkembangan jaman, suku Biak mengganti jenis mas kawin itu dengan gelang yang terbuat dari perak. Setelah penentuan mas kawin, kedua orang tua dari kedua belah pihak pergi menuju rumah tetua adat suku Biak. Bagi suku Biak, tetua adat memiliki peran yang sangat penting. Begitu pentingnya peran tetua adat itu, pihak keluarga akan menyelenggarakan pernikahan pada hari yang oleh tetua adat dianggap sebagai hari baik. Sementara itu, segala macam kebutuhan pernikahan mulai dipersiapkan satu minggu menjelang hari pernikahan dilaksanakan.

Pernikahan adat suku Biak mulai dilaksanakan satu hari sebelum hari pernikahan tiba. Kedua calon mempelai yang akan menikah mengawali tradisi ini dengan acara makan bersama dengan semua saudara lelaki dari pihak ibu kedua mempelai. Keesokan harinya, keluarga wanita mulai menghias sang gadis sesuai adat. Setelah dianggap tampil sempurna, barulah calon pengantin wanita dibawa menuju rumah pengantin lelaki. Di rumah pihak lelaki itulah, puncak acara dalam pernikahan adat suku Biak dilaksanakan. Ketika menikah, lelaki ataupun wanita Biak mengenakan pakaian adat Papua yang bentuknya hampir sama. Mereka juga memakai gelang, kalung, serta ikat pinggang dari manik-manik.
Acara puncak pernikahan adat suku Biak diawali dengan penyerahan seperangkat senjata berupa tombak, panah, serta parang. Penyerahan itu diawali dari pihak keluarga wanita kepada pihak lelaki. Bagi suku Biak, penyerahan dari pihak wanita itu menjadi simbol bahwa keluarga wanita telah sepenuhnya menyerahkan anak gadis mereka kepada keluarga lelaki. Setelah diterima oleh wakil dari pihak lelaki, pihak keluarga lelaki menyerahkan pemberian yang bentuknya sama kepada pihak perempuan. Kali ini, pemberian ini menjadi simbol, keluarga lelaki telah menerima anak gadis itu dan menjaganya seperti anak mereka sendiri. Setelah itu, barulah kepala adat mulai mengawali inti acara pernikahan.

Inti acara pernikahan adat diawali dengan pemberian sebatang rokok yang tampak seperti cerutu. Rokok itu wajib dihisap oleh pengantin lelaki kemudian diisap oleh pengantin wanita. Tak lama kemudian, tetua adat memberikan dua buah ubi yang telah dibakar di atas bara api kepada kedua mempelai. Ketika itu, setiap pengantin memperoleh sebuah ubi. Doa dan mantera yang dibacakan oleh sang tetua adat mengiringi prosesi pemberian ubi itu kepada kedua mempelai. Dalam tradisi ini, doa merupakan permohonan restu kepada Tuhan agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan. Setelah doa selesai dibacakan, kedua mempelai melaksanakan tradisi saling menyuapi ubi. Seluruh rangkaian acara pernikahan adat suku Biak ini diakhiri dengan makan bersama dengan seluruh keluarga dari kedua pihak dan para tamu undangan. Dengan berakhirnya tradisi makan bersama itu, usai sudah seluruh rangkaian acara pernikahan adat suku Biak di kabupaten Biak Numfor, Papua. Ari-Ike/LPP

Free Web Hosting